ProPublik.id, Jakarta-Ahli Pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan Daeng Tawang menilai Pasal 378 KUHP mengatur tindak pidana penipuan dengan unsur deliknya menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Artinya, perbuatan dilakukan dengan sengaja demi dapatkan keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain yang dilakukan secara melawan hukum.
“Melawan hukum di sini berarti pelaku tidak mempunyai hak untuk menikmati obyek barang atau uang tersebut, bahkan bertentangan dengan hak orang lain yang menjadi korban dirugikan,” kata Dian saat menjadi ahli pada persidangan dugaan penipuan dan pengelapan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 6 Agustus 2020.
Alumni Universitas Hasanuddin Makassar itu menambahkan perbuatan penipuan, memiliki unsur delik memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
“Akibatnya, seseorang menjadi tergerak untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya atau tergoda memberi hutang maupun menghapuskan piutang kepadanya,” ujar Dian.
Menurut dia, suatu kejadian yang didahului pertemuan-pertemuan yang disertai kesengajaan dengan maksud cari keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain termasuk pula sebagai tindak pidana.
Kehadiran Dian pada persidangan itu untuk menguatkan majelis hakim ketika nantinya mengambil keputusan untuk terdakwa Robianto Idup, dalam kasus dugaan penipuan antara terdakwa selaku komisaris PT Dian Bara Genoyang (DBG) dengan PT Graha Prima Energy (GPE).
Pada persidangan itu, sempat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Boby Mokoginta, bertanya kepada ahli terkait jalinan kerja sama antara PT DBG yang) diwakili Robianto Idup selaku Komisaris PT DBG dengan PT Graha Prima Energy (GPE) yang diwakili Herman Tandrin terdapat juga unsur tindak pidana.
Dian menjawab “ada”. Lanjut Jaksa, oleh karena PT DBG janji bayar ke PT GPE dan ada pula maksud pihak PT DBG untuk cari keuntungan, bagaimana?
“Kalau ada maksud cari keuntungan dengan melawan hukum dan bertentangan dengan hak orang lain, jelas ada tindak pidananya. Sebab janjinya untuk lakukan pembayaran namun tak kunjung direalisasikan itu merupakan bagian dari tipu muslihat,” jelas ahli.
Namun menjawab pertanyaan penasihat hukum terdakwa, Ditho Sitompul dari kantor advokat Hotma Sitompul, dan JPU Marly Sihombing, ahli juga menyatakan bujuk rayu, janji-janji bahkan kata-kata bohong sekalipun jika telah didahului dengan suatu perjanjian dan perjanjian itu masih berlaku maka perbuatan tersebut hanyalah wanprestasi, cidera janji atau tindakan perdata saja.
“Penyelesaiannya tergantung kesepakatan dalam perjanjian itu sendiri,” kata ahli, yang agaknya berbeda pendapatnya di bagian awal sidang dan di BAP maupun di penghujung persidangan tersebut.
Kemudian, ahli mengaku dirinya tidak diberitahu saat penyidikan adanya perjanjian antara PT GPE dengan PT DBG.
Dalam pemeriksaan Robianto, terdakwa mengaku sudah banyak lupa hal-hal penting yang terjadi di perusahaannya. Bahkan dalam tiga kali pertemuannya dengan Herman Tandrin tidak pernah dibicarakan mereka soal invoice atau tagihan PT GPE di PT DBG yang terbengkalai atau tak kunjung dibayar.
“Manajemen PT DBG, terutama Iman Setiabudi-lah selaku Dirut yang membicarakannya. Saya dengan Herman Tandrin bicara hal-hal lain saja,” kata terdakwa Robianto Idup dan mengaku telah menjadi korban kriminalisasi dalam kasus tersebut.
Sidang akan kembali digelar pada 18 Agustus 2020 mendatang dengan agenda pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Robianto Idup.