ProPublik.id, Jakarta-Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) menilai dengan diaktifkannya kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) dipandang sangat mencederai etika kepemiluan dan kepastikan hukum atas pelanggaran etik Pemilu.
Menyusul Keputusan Presiden (Keppres) No. 83/P/2020 yang mencabut Keppres No. 34/P/2020 setelah dikeluarkannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Dengan adanya keputusan ini keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi dipandang final dan binding bagi penyelenggara Pemilu,” kata juru bicara GRID Jeirry Sumampow, kepada ProPublik.id, Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Kata dia, di sisi yang lain, PTUN akan menjadi lahan subur bagi pemanfatan kasus-kasus coreng penyelenggara yang merusak integritas demokrasi secara keseluhan. Sebab, sebelumnya Evi Novida Ginting Manik diadukan ke DKPP atas dugaan pelanggaran etik berat terkait dugaan perubahan hasil Pemilu lewat Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X-2019 dengan sanksi pemberhentian tetap.
“Kan, kasus ini telah terang benderang di publik lewat keterangan di dalam Putusan DKPP bahwa telah terjadi ‘persekongkolan’ dalam upaya merubah ketetapan kursi anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat hasil Pemilu 2019,” ungkap Jeirry.
Lanjut dia, bersama Evi, DKPP juga memberikan teguran keras kepada 5 anggota Komisioner KPU RI yang lain. Persekongkolan terjadi dalam bentuk pemanggilan anggota KPU Kalbar ke KPU Pusat dan pemutusan sepihak untuk merubah ketetapan suara dalam rapat tertutup di ruangan salah satu anggota Komisioner KPU Pusat yang memenangkan suara calon yang suaranya diduga digelembungkan.
“Dalam kasus ini, Evi dianggap paling bertanggung jawab karena posisinya yang seharusnya mengoordinasikan dan mensupervisi terkait Penetapan dan pendokumentasian Hasil Pemilu, seperti tertulis dalam dokumen putusan DKPP. Evi juga dinyatakan melanggar kode etik dan diberhentikan dari jabatan Ketua Divisi SDM, Organisasi, Diklat, dan Litbang KPU,” papar Koordinator Tepi Indonesia itu.
Lanjutnya, dengan ketidakjelasan kasus Evi yang sebelumnya telah diputus pelanggaran etik berat oleh DKPP dapat berdampak lebih jauh ke ketetapan hasil pemilu yang terkait dengan kasusnya. Juga akan berdampak pada integritas KPU secara umum sebagai penyelenggara, terlebih menjelang Pilkada langsung tahun 2020 ini.
“Dampak yang lebih luas adalah pada ketidakpastian atas putusan etik Pemilu lewat DKPP yang seharusnya final dan binding (terakhir dan mengikat) sesuai dengan UU No. 7 tahun 2017. Bahkan seharusnya putusan ini dapat ditindaklanjuti pada dugaan transaksional di balik penetapan kursi DPRD yang suaranya bermasalah ke penegak hukum,” terangnya.
Terkait dengan hal ini, koalisi GRID yang terdiri dari Ray Rangkuti, selaku Direktur Lima Indonesia), Ibrahim Fahmy Badoh selaku Direktur Nara Integrita, Kaka Suminta selaku Sekjen KIPP, Arief Nur Alam dari Peneliti IBC, dan Alwan Ola Riantoby dari Koordinator Nasional JPPR, lalu Ari Nurcahyo selaku Direktur Para Syndicate. Kemudian Badi’ul Hadi dari Seknas Fitra, Yusfitriadi selaku Direktur Deep, Arief Susanto dari Analis Exposit Strategic, Lucius Karus dari Peneliti Formappi, dan August Melaz selaku Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi.
Mereka menyampaikan agar DKPP segera mengambil sikap dalam rangka menjaga marwah Integritas dan etika kepemiluan. Dan, meminta KPU untuk menolak kembalinya Evi Novida sebagai anggota KPU atas nama integritas pemilu dan menjaga nama baik KPU di mata publik.
“Juga, meminta Penegak Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menelisik kasus Evi lebih jauh terkait dugaan praktek transaksional di balik siasat penetapan kursi kader Partai Gerindra di Kalimantan Barat,” tandasnya.
Editor: Dwi Christianto